Suatu kali saya
pernah bertanya kepada bapak saya: “Pak, kenapa ya, para nelayan ketika melaut
mereka masih membawa bekal air untuk minum atau masak. Kan, mereka sudah berada
di air?”
Dengan enteng Bapak
menjawab, “Ya, sama dengan kita. Kita di sawah, banyak air. Tapi kita juga
masih bawa air minum dari rumah. Kita tetap tidak mau minum air sawah ini.”
Hehehe...benar
juga kata Bapak.
Jadi begini
penjelasannya.
Tentu saja air sawah adalah air kotor dan berlumpur. Ditambah lagi dengan banyak hewan yang hidup dan berkembang biak di dalam air seperti beberapa ikan, katak, nyamuk dan banyak serangga lainnya. Jika sawah sudah ditanami (padi) sudah bisa dipastikan para petani akan menabur pupuk atau menyemprotkan pestisida dan akhirnya bercampur ke dalam air. Kesimpulan sederhananya, air sawah tidak cocok untuk tubuh manusia karena mengandung banyak unsur yang membahayakan tubuh kita.
Tentu saja air sawah adalah air kotor dan berlumpur. Ditambah lagi dengan banyak hewan yang hidup dan berkembang biak di dalam air seperti beberapa ikan, katak, nyamuk dan banyak serangga lainnya. Jika sawah sudah ditanami (padi) sudah bisa dipastikan para petani akan menabur pupuk atau menyemprotkan pestisida dan akhirnya bercampur ke dalam air. Kesimpulan sederhananya, air sawah tidak cocok untuk tubuh manusia karena mengandung banyak unsur yang membahayakan tubuh kita.
Sama halnya
dengan air laut. Air laut mengandung garam. Air garam jika diminum tidak dapat
menghilangkan dahaga. Jika kita minum air laut, maka kita akan buang air kecil
lebih banyak dari julmah air yang kita minum. Itu adalah cara organ tubuh kita
mengeluarkan garam yang berlebih. Akibatnya kita bisa mengalami dehidrasi
karena terlalu banyak buang air kecil. Karena itu, para nelayan tidak mau
mengkonsumsi air laut.
Bagaimana dengan
hati kita, apabila kita sering memasukkan sesuatu yang tidak seharusnya.
Sesuatu yang ‘kotor’? Tentu suatu saat dapat merusak bahkan mematikan hati
kita. Jangan sampai kita mengotori hati kita dengan berbuat maksiat karena
suatu saat hati kita akan mati.
Memang sistem
kapitalisme yang diterapkan di negara kita dan hampir seluruh negara di dunia
telah membuat kemaksiatan merajalela dan kebaikan menjadi barang langka. Dunia
saat ini adalah dunia di mana durhaka kepada Allah dianggap hal biasa. Sebagai
contoh, pernikahan dini dihalangi sedangkan pergaulan bebas dibiarkan
merajalela (Anda, terutama yang sudah mempunyai anak, pilih mana anak Anda
nikah usia dini atau anak Anda zina usia dini?). Suap dan korupsi kini dianggap
sebagai kebutuhan utuk bisa survive di dunia, sementara yang ingin bekerja
dengan jujur malah dijauhi.
Sistem
kapitalisme kini telah menjadi lingkungan hidup kita. Namun bukan berarti kita
harus mengikuti budaya kapitalisme yang rusak ini. Kita harus memiliki ‘bekal’
sendiri sebagaimana para petani membawa bekal di tengah hamparan sawah dan
nelayan membawa bekal di tengah luasnya samudera. Jangan sampai kita ‘minum
air’ kapitalisme yang berbahaya bagi kehidupan kita.
Bedanya, para
petani dan nelayan tidak bisa mengubah air sawah dan air laut menjadi layak
minum, dan mereraka tidak perlu melakukan itu. Tapi sistem yang mengatur
kehidupan kita saat ini bisa diubah dan memangharus diubah ke arah yang lebih
baik. Sistem yang menghancurkan tatanan kehidupan manusia harus diganti dengan
sistem yang bisa memuliakan manusia. Itulah Islam. Islam bukan sekedar agama
ritual seperti yang kita jalani selama ini. Islam memiliki aturan yang sempurna
dan mampu menjadikan umat ini umat yang terbaik.
Karena itu, sudah
saatnya kita membuang jauh-jauh sistem kapitalisme yang bobrok ini dan menggantinya dengan sistem Islam kaffah dalam naungan Khilafah rasyidah ‘ala
minhaj an-nubuwwah.
0 komentar:
Posting Komentar