Suatu hari ada
seorang laki-laki terlihat tengah asyik memancing di tepi sungai. Dia
melemparkan pancingnya ke kedalaman sungai, lalu dengan sabar dia menunggu ikan
menyambut umpannya.
Sepertinya ini
adalah hari keberuntungannya. Belum lama laki-laki itu menunggu, seekor ikan
tertipu umpannya. Segera dia menarik pancingnya dengan sekuat tenaga, lalu
diambilnya ikan yang terkait di pancingnya. Ikan yang sangat besar. Dia mengamati
ikan tersebut, mengukur besarnya. Sesaat kemudian, pria itu melemparkan ikan
yang didapatnya itu kembali ke sungai.
Dia kembali
melempar pancingnya. Menunggu lagi dengan tenang. Tak lama kemudian, pancingnya
terasa ditarik dengan sangat kuat. Lebih kuat dari sebelumnya.
“Ikannya pasti
lebih besar,” pikirnya.
Benar saja, ikan
itu jauh lebih besar dari sebelumnya. Laki-laki itu mengamati ikan tersebut,
lalu kembali melemparkannya ke sungai. Dia pun melempar pancing yang sudah
diberi umpan ke sungai sekali lagi.
Sudah banyak
sekali ikan besar yang didapatnya, namun sebanyak itu pula laki-laki itu
mengembalikannya lagi ke sungai. Apa yang terjadi dengan orang ‘kurang kerjaan’
itu? Apa dia hanya iseng dan senang memancing saja dan tak berniat menikmati
hasil memancingnya? Tidak juga.
Untuk kesekian
kalinya, laki-laki itu melemparkan pancingnya ke sungai. Setelah agak lama dia
menunggu, akhirnya pancingnya ditarik oleh sesuatu; ikan. Dia menarik
pancingnya dan didapatinya seekor ikan kecil. Setelah diamati dan diukur
besarnya, dia terlihat puas dan membawa ikan itu pulang.
Ada seseorang
yang sedari tadi mengawasinya merasa heran, dia pun bertanya kepada laki-laki
tersebut. “Maaf, Pak. Dari tadi Bapak saya amati saat memancing, Bapak selalu
mendapat ikan besar lalu melemparnya lagi ke sungai dan Bapak terlihat tidak
senang. Tapi kenapa waktu Bapak mendapatkan ikan yang kecil justru Bapak
terlihat senang dan membawanya?”
Laki-laki tadi
pun menjawab, “Iya Mas, sebenarnya saya juga sayang membuang ikan yang
besar-besar tadi. Yang jadi masalah sebenarnya bukan pada ikannya, tapi masalahnya
pada wajan saya di rumah. Wajannya kecil, jadi tidak bisa dipakai untuk memasak
ikan besar.”
***
Cerita di atas
memang hanya fiksi belaka, tidak pernah terjadi di kehidupan nyata. Tapi
bolehlah kita mengambil hikmah di balik kejadian unik tersebut. Pernahkah kita
mengalami hal sama seperti pria ‘unik’ di atas? Tidak pernah? Yakin?
Kalau sama persis
peristiwanya mungkin tidak pernah. Tapi entah disadari atau tidak kita sering
melakukan kekonyolan yang sama seperti yang dialami pria tersebut.
Terkadang kita
membuang kesempatan besar hanya karena kita merasa belum mampu untuk
melakukannya. Kita sering membuang ikan besar hanya gara-gara wajan kita
kecil. Padahal kita bisa melakukan sesuatu yang lebih besar dan lebih baik
jika kita mau mengambil kesempatan besar yang datang seraya menyiapkan diri
untuk malakukannya dengan baik.
Barangkali kita
sering sekali melakukannya. Mungkin kita pernah diminta untuk berbicara di
depan umum, menjadi pembawa acara atau bahkan pemateri, tapi kita menolaknya.
Alasannya, “Saya tidak bisa,” “Saya tidak siap,” dan seribu alasan lainnya. Atau
kita mendapat tawaran bisnis besar, lalu kita menolak dengan alasan tidak bisa.
Bisa juga kita mendapat amanah dakwah. Lagi-lagi kita menolaknya dengan alasan
klasik, tidak bisa, banyak urusan dan berbagai dalih lainnya. Padahal amanah
itu bisa menjadi ladang pahala bagi kita. Dan perlu diingat, amanah itu tidak
diberikan kepada sembarang orang. Dengan seringnya kita menolak kesempatan
besar, kita akhirnya menjadi tidak pernah berkembang. Itu bahaya.
Apa masih banyak
lagi kesempatan besar yang kita buang percuma? Ditawari nikah misalnya?
Hehehe....
Semestinya
yang kita lakukan bukan membuang ikan yang besar, tapi seharusnya kita siapkan
wajan yang lebih besar. Inilah
sikap yang harus kita ubah dalam hidup kita. Selalu siapkan diri untuk
menyambut kesempatan besar untuk menjadi pribadi yang berprestasi luar biasa!
Salam,
MASHARI
0 komentar:
Posting Komentar